Kisah Imam Robi'ah bin Abdurohman
Kisah Cinta Suhaila
Astawdi’ukallah al-ladzi laa tadi’u wa daa ‘iuhu.”
(Aku titipkan engkau kepada Allah yang tak pernah menyia-nyiakan titipan)
Suatu ketika pada masa pemerintahan Bani Ummayah (setelah Khulafa’ur Rasyidin), Islam menjadi kekuatan yang dominan di seluruh bumi. Negara Muslim menjadi negara terbesar di antara yang lain. Kala itu di kota Nabi , Al-Madinah Al- Munawwarah, diadakan sebuah hajatan. Beberapa shahabat dan tabiin menghadiri pernikahan dua muda-mudi. Keduanya adalah Suhaila dan Farukh. Mereka berdua masih muda dan memiliki budi pekerti yang luhur sampai akhirnya mereka menjadi sangat terkenal di antara para pemimpin kelak di kemudian hari.
Pada waktu itu, jihad menjadi salah satu perbuatan mulia bagi setiap Muslim. Setiap Muslim memiliki impian untuk bisa pergi berjihad. Tentara Muslim di manapun di muka bumi, akan menuju utara, ke arah selatan, arah timur, ke arah barat. Dari segenap penjuru mereka akan berkumpul lalu pergi kemana pun dan melakukan pertempuran untuk menyebarkan pesan Allah. Hal itu juga yang menjadi impian anak muda ini, si pengantin baru, Farukh. Ia melihat para shahabat dan tabiin sering berangkat dan pulang dari medan perang kemudian mendengarkan berita dari mereka serta mendengarkan cerita bagaimana mereka mengorbankan hidup demi Allah. Bagaimana Allah memberikan mereka kemenangan dan memberkahi mereka dengan segala sesuatu.
Belum sampai tiga bulan setelah pernikahannya, pemuda ini pulang ke rumah pada malam hari. Ia melihat istrinya kemudian bercerita tentang niatnya untuk pergi berjihad, pergi berperang melawan kafir, dan menyebarkan pesan Allah. Meskipun sudah hampir tiga bulan menikah, tetapi harapan untuk mendapatkan rahmat Allah dari salah satu ibadah agung dan mulia, yaitu jihad, lebih menarik baginya daripada hidup senang dengan istrinya di rumah. Ini adalah keputusan yang sangat sulit bagi Farukh untuk memutuskan pergi jihad, padahal dia baru tiga bulan menikah. Sang istri pun hampir tidak percaya saat mendengar hal tersebut. Bagaimana dia bisa menerima ini, padahal mereka baru saja menikah tiga bulan? Siapa yang akan merawatnya? Apa yang akan dia lakukan dengan rumah? Dengan uang? Siapa yang akan memberinya makan? Dia masih muda ketika sang suami membawanya dari keluarganya. Namun, keputusan telah dibuat oleh Farukh. Ia tidak ingin berdebat tentang hal itu.
“Bagaimana dengan kehidupan kita? Bagaimana dengan rumah kita?” Suhaila bertanya.
Terlalu banyak pertanyaan dari istrinya, tetapi hanya satu jawaban dari pemuda itu, “Allah yang akan mengurus kita semua.”
Sebagai seorang Muslim, Farukh mengambil keputusan untuk pergi berjihad. Namun, ia tidak punya waktu lama. Dia segera menyiapkan dirinya untuk perjalanan panjang dalam berjihad. Ia menghabiskan malam-malamnya untuk mempersiapkan dirinya dan berusaha meyakinkan istri tercintanya bahwa ini adalah pilihan yang tepat dan tanpa rasa ragu. Dia melakukannya demi Allah dan kita harus berkorban demi kejayaan dien ini.
Farukh meninggalkan Suhaila uang untuk keperluan hidup— yang mungkin akan habis dalam beberapa bulan kemudian. Mereka berharap bahwa seluruh perjalanan ini akan selesai hanya dalam beberapa bulan. Selain itu, ia juga meninggalkan istrinya, apa yang ia simpan selama hidupnya, yakni seluruh kekayaan yang ia usahakan sebelum menikah. Ia meninggalkan 30.000 dinar sebagai harta simpanan. Farukh memintanya untuk tidak menyentuh dan tidak menggunakannya sampai dia datang kembali padanya.
Di depan pintu, Suhaila memandang untuk terakhir kali pada suaminya, sang kekasih, Farukh. Dia menangis. Dia berkata, “Wahai Farukh, jangan tinggalkan aku sendiri. Wahai Farukh, jangan tinggalkan aku sendirian. Tidak ada yang akan mengurusku.” Tapi Farukh tidak berkomentar apa-apa pun lalu ia mengatakan
“Astawdi’ukallah al-ladzi laa tadi’u wa daa ‘iuhu.”
(Aku titipkan engkau kepada Allah yang tak pernah menyia-nyiakan titipan)
Farukh kemudian pergi ke masjid Nabi untuk shalat Subuh. Setelah itu, ia bergabung dengan tentara Muslim dan pergi bersama ke medan pertempuran. Mereka pergi ke arah timur. Suhaila, istrinya, seorang diri menangis dan menangis. Apa yang bisa dia lakukan karena dia masih muda? Bagaimana cara dia bertahan hidup tanpa suami? Teman-temannya sering datang ke rumahnya. Mereka mencoba untuk menghiburnya, mencoba membuatnya melupakan ujian ini, tapi mereka selalu gagal.
Ternyata, Suhaila mengandung bayi. Dia hamil setelah tiga bulan pernikahannya dengan Farukh. Kita bisa membayangkan bagaimana situasi dia setelah sang suami meninggalkannya sendirian. Dia akan memiliki bayi dan bayinya akan hidup sebagai yatim. Suhaila tidak tahu harus bagaimana menghadapi masalahnya. Ia hanya
tahu bahwa tiada jalan keluar kecuali dengan berdoa kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar memberi rahmat serta memberinya jalan keluar. Hari demi hari pun berlalu, hingga Suhaila melahirkan bayi laki-laki. Dia sangat senang karena kelahiran bayi itu, tapi dia tidak tahu bagaimana anak yatim ini akan tumbuh tanpa seorang ayah.
Selama Farukh pergi, Suhalia sering gelisah dan selalu menunggunya. Dia selalu bertanya kepada saudara Muslim yang kembali dari medan perang tentang suaminya, tapi tidak ada yangmemberikan jawaban pasti. Uang keperluan hidup yang Farukh tinggalkan untuk dirinya sudah hampir habis. Ia bertekad untuk tidak akan menggunakan dinar yang diamanahkan sang suami untuk keperluan dirinya. Satu-satunya uang yang ia pakai adalah uang yang ditinggalkan baginya untuk bertahan hidup. Namun,uang itu sudah hampir habis sementara Farukh pun belum kembali.
Suhaila sangat sabar dan tidak pernah mengambil harta simpanan suaminya. Ketika mendengar ada beberapa mujahidin yang pulang dari medan perang, dia bersegera pergi kepada mereka,dengan harapan bahwa mereka mungkin tahu tentang suaminya.Ketika dia datang kepada mereka dan bertanya tentang Farukh. Salah satu dari mereka mengatakan kepadanya, “Saya melihat dia dengan dua mata saya sedang sekarat di salah satu pertempuran.”Berita ini sangat menggetarkan Suhaila. Tapi, iman yang ada dalam hatinya, melindunginya dari melakukan kesalahan. Ia mengucap, “Inna lillaahi wa inna illaaihi raa ji`uun.”
Suhaila pun kembali ke rumahnya, dengan berita yang bisa menjadi api dalam hatinya. Tapi, dia tidak melakukan apa-apa selain meminta kepada Allah untuk memberinya jalan keluar. Setelah berita itu, Suhaila memutuskan untuk mulai menggunakan harta simpanan yang Farukh tinggalkan untuknya. Ia berencana untuk menggunakan seluruh uang itu demi mengajari anaknya pengetahuan Islam dan mempersiapakan dia untuk menjadi salah satu pemimpin yang saleh. Suhaila mulai mengajarkan anaknya di usia dini untuk menghadiri thillatul-dzikir di mana para ulama memberikan ceramah mereka dan di mana umat Islam berkumpul untuk melakukan dzikir.
Dia juga biasa membawa beberapa guru ke rumah untuk mengajari anaknya Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dia membayar mereka dari harta simpanan yang suaminya tinggalkan bersamanya. Para ulama yang biasa mengajarkan anak kecil, sangat mencintainya dan mereka semua melihat kejeniusan serta kecerdasannya. Semua itu bukan hanya karena dia pintar, atau karena kemampuannya.
Itu semua karena upaya keras sang ibu. Itulah doa sang ibu kepada Allah untuk merahmati dan melindunginya. Itulah tetasan sperma yang murni lagi diberkahi yang berasal dari kedua orang tua yang saleh. Di atas itu semua ada banyak berkah dan rahmat Allah kepada si bayi kecil.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Suhaila masih memikirkan sang suami, Farukh. Dia masih berharap bisa melihatnya suatu hari nanti. Dia biasa menggambarkan sang ayah kepada anaknya sebagai pribadi yang baik dan sopan santun. Dia menjadikan figur Farukh sebagai teladan bagi anaknya untuk diikuti.
Pada malam hari, setelah 30 tahun, di perbatasan Cina yang sangat jauh dari Madinah Al-Munawarah, sekelompok mujahidin sedang tidur. Allah telah memberikan mereka kemenangan. Mereka semua bersyukur dan senang karenanya. Mereka tidur sepanjang malam, kecuali seorang tua berusia 50-an tahun. Orang tua itu berpikir tentang seorang istri yang ia tinggalkan tiga bulan setelah menikah. Ketika semua orang sedang tidur, orang tua itu berkata, “Apa yang terjadi dengan Suhaila? Bagaimana dia sekarang? Apa yang terjadi padanya?” Ya, itu adalah Farukh, suami Suhaila. Dia belum meninggal.
Setelah tiga puluh tahun sejak Farukh meninggalkan istrinya, membuatnya berpikir untuk kembali pulang kepada istrinya, ke kota Nabi Muhammad. Tapi, itu akan sangat berisiko baginya untuk kembali. Bagaimana jika ia tidak menemukan istrinya? Bagaimana jika ia kembali dan menemukan istrinya telah menikah dengan orang lain? Bagaimana jika ia tidak menemukan amanah yang dititipkannya? Banyak pertanyaan memenuhi pikirannya.
Namun, ia tetap membulatkan tekad untuk kembali ke Madinah, Al Munawwarah, untuk melihat istrinya. Setidaknya, sekali saja sebelum Allahkmengambil lebih dulu salah satu dari mereka. Dia pun mendapat izin dari pemimpin mujahidin dan ia meninggalkan pertempuran menuju Madinah Al-Munawwarah. Tahukah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pergi dari perbatasan Cina ke Madinah Al-Munawwarah?
Satu-satunya alat transportasi yang mereka gunakan adalah unta dan kuda. Jadi, itu adalah perjalanan yang sangat panjang. Namun, dalamnya kerinduan kepada istri tercinta menjadi motivasi kuat baginya untuk menyelesaikan perjalanan ini secepat mungkin. Semakin dekat ia ke Madinah, justru semakin bertambah rasa cemasnya. Apa yang akan terjadi disana?
Akhirnya setelah sebulan menempuh perjalanan panjang, ia sampai ke perbatasan kota Al-Madinah Al-Munawwarah, di mana ia meninggalkan istrinya lebih dari 30 tahun yang lalu. Meskipun ini sangat sulit baginya, namun dia tidak melupakan sunah Nabi Muhammad. Kita tahu bahwa salah satu sunah Nabi ketika masuk ke kampung halaman setelah bepergian jauh adalah dimulai dengan memasuki Masjid kampung halaman. Pergi ke masjid, shalat dua rakaat, baru pulang ke rumah.
Dia tetap tidak melupakan sunah tersebut meskipun dalam hatinya ada kerinduan yang amat sangat kepada istrinya, apa yang telah terjadi padanya. Ia langsung pergi ke masjid Nabi n, shalat dua rakaat, dan menunggu shalat Ashar. Setelah shalat Ashar, Farukh bergegas menuju rumahnya.
Setelah selesai shalat Ashar, ia melihat ratusan bahkan ribuan jamaah membuat lingkaran majelis ilmu dan ada satu ulama besar yang dia tidak tahu. Menurutnya, majelis tidak akan berlangsung lama, sehingga ia bisa sejenak berada dalam majelis itu. Farukh sangat terkejut melihat pemandangan seperti itu, sejak 30 tahun lalu meninggalkan Madinah.
Dia mencoba untuk mengetahui atau menebak siapa orang itu, yang memberikan taklim di depan ribuan orang di masjid Nabi. Ia tidak bisa mengenali orang itu, tetapi ia kagum dengan pengetahuan dan kepiawaiannya dalam menyampaikan ilmu, juga caranya berinteraksi kepada muridmuridnya.
Apakah pembaca tahu, bahwa salah satu murid yang ada dalam majelis itu adalah Imam Malik bin Anas, salah satu imam madzhab (dari empat madzhab). Tidak hanya Imam Malik, di samping Imam Malik adalah Imam Sufyan At-Tsauri dan Imam Laits bin Saad, dan ada lebih banyak lagi ulama besar lainnya. Setelah majelis ilmu selesai, Farukh bertanya kepada orang di sebelahnya, “Siapakah ulama ini? Siapakah Syekh ini?”
Orang di sebelahnya lalu menertawakannya, “Engkau tidak tahu siapa ulama besar itu?”
Dia berkata, “Tidak. Saya adalah orang asing. Saya hanya singgah ke Madinah Al- Munawwarah.”
Lalu, orang itu mulai menjelaskan dan menceritakan tentang Syekh tersebut. Syekh itu adalah sumber rujukan utama di Madinah Al-Munawwarah. Dia salah satu dari tujuh ulama Madinah Al Munawwarah. Mereka disebut al-ulama al-Madinah sabah.
Farukh bertanya, “Siapa namanya?”
Orang itu berkata, “Namanya Rabi’ah bin Abdur-Rahman.” Farukh benar-benar tidak mengenalnya. Dia bahkan tidak bisa melihat sang Syekh karena berada sangat jauh darinya. Tempat itu pun penuh sesak dengan orang-orang.
Setelah selesai, Farukh pun pergi. Dia keluar meninggalkan masjid menuju rumahnya. Sebelum sampai ke pintu, Farukh melihat seorang Syekh dengan pakaian yang bagus mencoba masuk ke rumahnya. Farukh tidak mampu mengendalikan diri. Bagaimana bisa dia melihat seorang pria masuk ke rumah tanpa izin darinya?
Menurut Farukh, Suhaila mungkin masih ada di rumah. Lalu bagaimana bisa orang ini masuk ke rumahnya, namun dia terlihat seperti Syekh?
Farukh tidak bisa mengendalikan diri. Dia pun menyerang syekh itu, berusaha mengalahkan bahkan mencoba untuk membunuhnya. Farukh berkata, “Siapa kau? Apa kau lakukan di rumahku? Siapa yang mengizinkanmu masuk ke rumahku?”
Tapi, Syekh cukup kuat untuk membela diri dan ia pun menanyai Farukh pertanyaan yang sama. Karena mereka bertengkar satu sama lain, orang-orang mulai berkumpul. Di antara orang-orang, Imam Malik bin Anas datang. Ketika ia melihat situasi ini, dia tidak mengenal siapa Farukh, sehingga ia pun meminta Farukh untuk meninggalkan daerah itu. Imam Malik berkata, “Kau tidak punya tempat di sini, karena rumah ini milik orang itu, bukan milikmu.”
Ketika semua orang mengatakan bahwa rumah ini milik Syekh itu, bukan milik Farukh, maka ia berteriak dengan sangat nyaring, “Saya Faruuuukh!!! Saya adalah pemilik rumah ini.”
Tidak lama kemudian, seorang wanita tua keluar dari rumah dengan terkejut dan berkata kepada semua orang, “Ya Allah.. Wahai semua, orang ini adalah Farukh. Beliau suamiku.” Lalu, Suhaila menatap Farukh dan berkata, “Ini adalah anakmu, duhai suamiku. Lepaskan ia.”
Lalu, orang-orang di sekitar pun hanyut dalam keharuan dan mereka semua menangis. Mereka pun meninggalkan keluarga saleh itu dengan penuh rasa hormat. Farukh dan istrinya masuk ke dalam rumah. Anak mereka (syekh) kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
Apakah pembaca tahu pernyataan pertama yang Suhaila sampaikan kepada suaminya setelah lama berpisah? Dia berkata, “Duhai Farukh, saya sangat menyesal. Kini diriku tidak cantik lagi. Diriku tidak seperti yang engkau lihat 30 tahun yang lalu, saya sangat menyesal. Rambutku memutih dan kulitku juga tidak halus seperti yang engkau lihat dahulu.”
Farukh pun berkata dengan sangat lembut, “Duhai istriku tersayang, saya tidak peduli tentang hal itu. Kecantikanmu ada dalam hati. Kecantikanmu sudah kulihat dari kejujuran, karakter dan sopan santun. Jangan bersedih seperti itu sayangku.” Dia mengangkat dagu Suhaila dan me
natapnya penuh cinta sembari berkata, “Saya bersumpah bahwa engkaulah wanita paling indah bagiku.”
Kedua pasangan itu pun memadu kasih dan mulai membicarakan apa yang mereka alami selama 30 tahun ini. Begitu asyiknya berbicara, Farukh kemudian bertanya tentang harta simpanan yang ia tinggalkan. Suhaila berkata, “Suamiku, engkau tidak pergi ke masjid? Masjid Nabi Muhammad?”
Kata Farukh, “Ya, saya tadi kesana.”
Dia berkata, “Lalu, apa yang engkau lihat?”
Lalu ia menjawab, “Saya melihat seorang guru (syekh) yang luar biasa. Namanya Rabi’ah bin Abdurrahman. Saya tidak akan pernah melupakannya seumur hidupku.”
Lalu Suhaila bertanya, “Apakah engkau ingin menjadi seperti Rabi’ah bin Abdurrahman meskipun kehilangan semua kekayaan?”
Kata Farukh, “Ya saya mau. Saya ingin menjadi seperti dirinya meskipun akan kehilangan semua kekayaan yang kumiliki.”
Lalu Suhaila berkata, “Apakah engkau rela menghabiskan seluruh kekayaan untuk membiayai pendidikan anakmu agar seperti Rabi’ah bin Abdurrahman?”
Farukh berkata, “Ya. Bahkan itu lebih baik.”
Lalu Suhaila berkata kepadanya, “Rabi’ah bin Abdurrahman, ulama itu adalah putramu. Ia adalah orang yang bertengkar denganmu tadi; orang yang engkau lawan di depan pintu.” Ketika Farukh mengetahui hal ini, dia pergi mencari anaknya. Ia mencari ke mana putranya pergi dan berkata dalam hati, “Rabi’ah bin Abdurrahman adalah anakku, aku tidak percaya.. Ya Allah, hamba tidak percaya itu.”
Astawdi’ukallah al-ladzi laa tadi’u wa daa ‘iuhu.”
(Aku titipkan engkau kepada Allah yang tak pernah menyia-nyiakan titipan)
Suatu ketika pada masa pemerintahan Bani Ummayah (setelah Khulafa’ur Rasyidin), Islam menjadi kekuatan yang dominan di seluruh bumi. Negara Muslim menjadi negara terbesar di antara yang lain. Kala itu di kota Nabi , Al-Madinah Al- Munawwarah, diadakan sebuah hajatan. Beberapa shahabat dan tabiin menghadiri pernikahan dua muda-mudi. Keduanya adalah Suhaila dan Farukh. Mereka berdua masih muda dan memiliki budi pekerti yang luhur sampai akhirnya mereka menjadi sangat terkenal di antara para pemimpin kelak di kemudian hari.
Pada waktu itu, jihad menjadi salah satu perbuatan mulia bagi setiap Muslim. Setiap Muslim memiliki impian untuk bisa pergi berjihad. Tentara Muslim di manapun di muka bumi, akan menuju utara, ke arah selatan, arah timur, ke arah barat. Dari segenap penjuru mereka akan berkumpul lalu pergi kemana pun dan melakukan pertempuran untuk menyebarkan pesan Allah. Hal itu juga yang menjadi impian anak muda ini, si pengantin baru, Farukh. Ia melihat para shahabat dan tabiin sering berangkat dan pulang dari medan perang kemudian mendengarkan berita dari mereka serta mendengarkan cerita bagaimana mereka mengorbankan hidup demi Allah. Bagaimana Allah memberikan mereka kemenangan dan memberkahi mereka dengan segala sesuatu.
Belum sampai tiga bulan setelah pernikahannya, pemuda ini pulang ke rumah pada malam hari. Ia melihat istrinya kemudian bercerita tentang niatnya untuk pergi berjihad, pergi berperang melawan kafir, dan menyebarkan pesan Allah. Meskipun sudah hampir tiga bulan menikah, tetapi harapan untuk mendapatkan rahmat Allah dari salah satu ibadah agung dan mulia, yaitu jihad, lebih menarik baginya daripada hidup senang dengan istrinya di rumah. Ini adalah keputusan yang sangat sulit bagi Farukh untuk memutuskan pergi jihad, padahal dia baru tiga bulan menikah. Sang istri pun hampir tidak percaya saat mendengar hal tersebut. Bagaimana dia bisa menerima ini, padahal mereka baru saja menikah tiga bulan? Siapa yang akan merawatnya? Apa yang akan dia lakukan dengan rumah? Dengan uang? Siapa yang akan memberinya makan? Dia masih muda ketika sang suami membawanya dari keluarganya. Namun, keputusan telah dibuat oleh Farukh. Ia tidak ingin berdebat tentang hal itu.
“Bagaimana dengan kehidupan kita? Bagaimana dengan rumah kita?” Suhaila bertanya.
Terlalu banyak pertanyaan dari istrinya, tetapi hanya satu jawaban dari pemuda itu, “Allah yang akan mengurus kita semua.”
Sebagai seorang Muslim, Farukh mengambil keputusan untuk pergi berjihad. Namun, ia tidak punya waktu lama. Dia segera menyiapkan dirinya untuk perjalanan panjang dalam berjihad. Ia menghabiskan malam-malamnya untuk mempersiapkan dirinya dan berusaha meyakinkan istri tercintanya bahwa ini adalah pilihan yang tepat dan tanpa rasa ragu. Dia melakukannya demi Allah dan kita harus berkorban demi kejayaan dien ini.
Farukh meninggalkan Suhaila uang untuk keperluan hidup— yang mungkin akan habis dalam beberapa bulan kemudian. Mereka berharap bahwa seluruh perjalanan ini akan selesai hanya dalam beberapa bulan. Selain itu, ia juga meninggalkan istrinya, apa yang ia simpan selama hidupnya, yakni seluruh kekayaan yang ia usahakan sebelum menikah. Ia meninggalkan 30.000 dinar sebagai harta simpanan. Farukh memintanya untuk tidak menyentuh dan tidak menggunakannya sampai dia datang kembali padanya.
Di depan pintu, Suhaila memandang untuk terakhir kali pada suaminya, sang kekasih, Farukh. Dia menangis. Dia berkata, “Wahai Farukh, jangan tinggalkan aku sendiri. Wahai Farukh, jangan tinggalkan aku sendirian. Tidak ada yang akan mengurusku.” Tapi Farukh tidak berkomentar apa-apa pun lalu ia mengatakan
“Astawdi’ukallah al-ladzi laa tadi’u wa daa ‘iuhu.”
(Aku titipkan engkau kepada Allah yang tak pernah menyia-nyiakan titipan)
Farukh kemudian pergi ke masjid Nabi untuk shalat Subuh. Setelah itu, ia bergabung dengan tentara Muslim dan pergi bersama ke medan pertempuran. Mereka pergi ke arah timur. Suhaila, istrinya, seorang diri menangis dan menangis. Apa yang bisa dia lakukan karena dia masih muda? Bagaimana cara dia bertahan hidup tanpa suami? Teman-temannya sering datang ke rumahnya. Mereka mencoba untuk menghiburnya, mencoba membuatnya melupakan ujian ini, tapi mereka selalu gagal.
Ternyata, Suhaila mengandung bayi. Dia hamil setelah tiga bulan pernikahannya dengan Farukh. Kita bisa membayangkan bagaimana situasi dia setelah sang suami meninggalkannya sendirian. Dia akan memiliki bayi dan bayinya akan hidup sebagai yatim. Suhaila tidak tahu harus bagaimana menghadapi masalahnya. Ia hanya
tahu bahwa tiada jalan keluar kecuali dengan berdoa kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar memberi rahmat serta memberinya jalan keluar. Hari demi hari pun berlalu, hingga Suhaila melahirkan bayi laki-laki. Dia sangat senang karena kelahiran bayi itu, tapi dia tidak tahu bagaimana anak yatim ini akan tumbuh tanpa seorang ayah.
Selama Farukh pergi, Suhalia sering gelisah dan selalu menunggunya. Dia selalu bertanya kepada saudara Muslim yang kembali dari medan perang tentang suaminya, tapi tidak ada yangmemberikan jawaban pasti. Uang keperluan hidup yang Farukh tinggalkan untuk dirinya sudah hampir habis. Ia bertekad untuk tidak akan menggunakan dinar yang diamanahkan sang suami untuk keperluan dirinya. Satu-satunya uang yang ia pakai adalah uang yang ditinggalkan baginya untuk bertahan hidup. Namun,uang itu sudah hampir habis sementara Farukh pun belum kembali.
Suhaila sangat sabar dan tidak pernah mengambil harta simpanan suaminya. Ketika mendengar ada beberapa mujahidin yang pulang dari medan perang, dia bersegera pergi kepada mereka,dengan harapan bahwa mereka mungkin tahu tentang suaminya.Ketika dia datang kepada mereka dan bertanya tentang Farukh. Salah satu dari mereka mengatakan kepadanya, “Saya melihat dia dengan dua mata saya sedang sekarat di salah satu pertempuran.”Berita ini sangat menggetarkan Suhaila. Tapi, iman yang ada dalam hatinya, melindunginya dari melakukan kesalahan. Ia mengucap, “Inna lillaahi wa inna illaaihi raa ji`uun.”
Suhaila pun kembali ke rumahnya, dengan berita yang bisa menjadi api dalam hatinya. Tapi, dia tidak melakukan apa-apa selain meminta kepada Allah untuk memberinya jalan keluar. Setelah berita itu, Suhaila memutuskan untuk mulai menggunakan harta simpanan yang Farukh tinggalkan untuknya. Ia berencana untuk menggunakan seluruh uang itu demi mengajari anaknya pengetahuan Islam dan mempersiapakan dia untuk menjadi salah satu pemimpin yang saleh. Suhaila mulai mengajarkan anaknya di usia dini untuk menghadiri thillatul-dzikir di mana para ulama memberikan ceramah mereka dan di mana umat Islam berkumpul untuk melakukan dzikir.
Dia juga biasa membawa beberapa guru ke rumah untuk mengajari anaknya Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dia membayar mereka dari harta simpanan yang suaminya tinggalkan bersamanya. Para ulama yang biasa mengajarkan anak kecil, sangat mencintainya dan mereka semua melihat kejeniusan serta kecerdasannya. Semua itu bukan hanya karena dia pintar, atau karena kemampuannya.
Itu semua karena upaya keras sang ibu. Itulah doa sang ibu kepada Allah untuk merahmati dan melindunginya. Itulah tetasan sperma yang murni lagi diberkahi yang berasal dari kedua orang tua yang saleh. Di atas itu semua ada banyak berkah dan rahmat Allah kepada si bayi kecil.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Suhaila masih memikirkan sang suami, Farukh. Dia masih berharap bisa melihatnya suatu hari nanti. Dia biasa menggambarkan sang ayah kepada anaknya sebagai pribadi yang baik dan sopan santun. Dia menjadikan figur Farukh sebagai teladan bagi anaknya untuk diikuti.
Pada malam hari, setelah 30 tahun, di perbatasan Cina yang sangat jauh dari Madinah Al-Munawarah, sekelompok mujahidin sedang tidur. Allah telah memberikan mereka kemenangan. Mereka semua bersyukur dan senang karenanya. Mereka tidur sepanjang malam, kecuali seorang tua berusia 50-an tahun. Orang tua itu berpikir tentang seorang istri yang ia tinggalkan tiga bulan setelah menikah. Ketika semua orang sedang tidur, orang tua itu berkata, “Apa yang terjadi dengan Suhaila? Bagaimana dia sekarang? Apa yang terjadi padanya?” Ya, itu adalah Farukh, suami Suhaila. Dia belum meninggal.
Setelah tiga puluh tahun sejak Farukh meninggalkan istrinya, membuatnya berpikir untuk kembali pulang kepada istrinya, ke kota Nabi Muhammad. Tapi, itu akan sangat berisiko baginya untuk kembali. Bagaimana jika ia tidak menemukan istrinya? Bagaimana jika ia kembali dan menemukan istrinya telah menikah dengan orang lain? Bagaimana jika ia tidak menemukan amanah yang dititipkannya? Banyak pertanyaan memenuhi pikirannya.
Namun, ia tetap membulatkan tekad untuk kembali ke Madinah, Al Munawwarah, untuk melihat istrinya. Setidaknya, sekali saja sebelum Allahkmengambil lebih dulu salah satu dari mereka. Dia pun mendapat izin dari pemimpin mujahidin dan ia meninggalkan pertempuran menuju Madinah Al-Munawwarah. Tahukah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pergi dari perbatasan Cina ke Madinah Al-Munawwarah?
Satu-satunya alat transportasi yang mereka gunakan adalah unta dan kuda. Jadi, itu adalah perjalanan yang sangat panjang. Namun, dalamnya kerinduan kepada istri tercinta menjadi motivasi kuat baginya untuk menyelesaikan perjalanan ini secepat mungkin. Semakin dekat ia ke Madinah, justru semakin bertambah rasa cemasnya. Apa yang akan terjadi disana?
Akhirnya setelah sebulan menempuh perjalanan panjang, ia sampai ke perbatasan kota Al-Madinah Al-Munawwarah, di mana ia meninggalkan istrinya lebih dari 30 tahun yang lalu. Meskipun ini sangat sulit baginya, namun dia tidak melupakan sunah Nabi Muhammad. Kita tahu bahwa salah satu sunah Nabi ketika masuk ke kampung halaman setelah bepergian jauh adalah dimulai dengan memasuki Masjid kampung halaman. Pergi ke masjid, shalat dua rakaat, baru pulang ke rumah.
Dia tetap tidak melupakan sunah tersebut meskipun dalam hatinya ada kerinduan yang amat sangat kepada istrinya, apa yang telah terjadi padanya. Ia langsung pergi ke masjid Nabi n, shalat dua rakaat, dan menunggu shalat Ashar. Setelah shalat Ashar, Farukh bergegas menuju rumahnya.
Setelah selesai shalat Ashar, ia melihat ratusan bahkan ribuan jamaah membuat lingkaran majelis ilmu dan ada satu ulama besar yang dia tidak tahu. Menurutnya, majelis tidak akan berlangsung lama, sehingga ia bisa sejenak berada dalam majelis itu. Farukh sangat terkejut melihat pemandangan seperti itu, sejak 30 tahun lalu meninggalkan Madinah.
Dia mencoba untuk mengetahui atau menebak siapa orang itu, yang memberikan taklim di depan ribuan orang di masjid Nabi. Ia tidak bisa mengenali orang itu, tetapi ia kagum dengan pengetahuan dan kepiawaiannya dalam menyampaikan ilmu, juga caranya berinteraksi kepada muridmuridnya.
Apakah pembaca tahu, bahwa salah satu murid yang ada dalam majelis itu adalah Imam Malik bin Anas, salah satu imam madzhab (dari empat madzhab). Tidak hanya Imam Malik, di samping Imam Malik adalah Imam Sufyan At-Tsauri dan Imam Laits bin Saad, dan ada lebih banyak lagi ulama besar lainnya. Setelah majelis ilmu selesai, Farukh bertanya kepada orang di sebelahnya, “Siapakah ulama ini? Siapakah Syekh ini?”
Orang di sebelahnya lalu menertawakannya, “Engkau tidak tahu siapa ulama besar itu?”
Dia berkata, “Tidak. Saya adalah orang asing. Saya hanya singgah ke Madinah Al- Munawwarah.”
Lalu, orang itu mulai menjelaskan dan menceritakan tentang Syekh tersebut. Syekh itu adalah sumber rujukan utama di Madinah Al-Munawwarah. Dia salah satu dari tujuh ulama Madinah Al Munawwarah. Mereka disebut al-ulama al-Madinah sabah.
Farukh bertanya, “Siapa namanya?”
Orang itu berkata, “Namanya Rabi’ah bin Abdur-Rahman.” Farukh benar-benar tidak mengenalnya. Dia bahkan tidak bisa melihat sang Syekh karena berada sangat jauh darinya. Tempat itu pun penuh sesak dengan orang-orang.
Setelah selesai, Farukh pun pergi. Dia keluar meninggalkan masjid menuju rumahnya. Sebelum sampai ke pintu, Farukh melihat seorang Syekh dengan pakaian yang bagus mencoba masuk ke rumahnya. Farukh tidak mampu mengendalikan diri. Bagaimana bisa dia melihat seorang pria masuk ke rumah tanpa izin darinya?
Menurut Farukh, Suhaila mungkin masih ada di rumah. Lalu bagaimana bisa orang ini masuk ke rumahnya, namun dia terlihat seperti Syekh?
Farukh tidak bisa mengendalikan diri. Dia pun menyerang syekh itu, berusaha mengalahkan bahkan mencoba untuk membunuhnya. Farukh berkata, “Siapa kau? Apa kau lakukan di rumahku? Siapa yang mengizinkanmu masuk ke rumahku?”
Tapi, Syekh cukup kuat untuk membela diri dan ia pun menanyai Farukh pertanyaan yang sama. Karena mereka bertengkar satu sama lain, orang-orang mulai berkumpul. Di antara orang-orang, Imam Malik bin Anas datang. Ketika ia melihat situasi ini, dia tidak mengenal siapa Farukh, sehingga ia pun meminta Farukh untuk meninggalkan daerah itu. Imam Malik berkata, “Kau tidak punya tempat di sini, karena rumah ini milik orang itu, bukan milikmu.”
Ketika semua orang mengatakan bahwa rumah ini milik Syekh itu, bukan milik Farukh, maka ia berteriak dengan sangat nyaring, “Saya Faruuuukh!!! Saya adalah pemilik rumah ini.”
Tidak lama kemudian, seorang wanita tua keluar dari rumah dengan terkejut dan berkata kepada semua orang, “Ya Allah.. Wahai semua, orang ini adalah Farukh. Beliau suamiku.” Lalu, Suhaila menatap Farukh dan berkata, “Ini adalah anakmu, duhai suamiku. Lepaskan ia.”
Lalu, orang-orang di sekitar pun hanyut dalam keharuan dan mereka semua menangis. Mereka pun meninggalkan keluarga saleh itu dengan penuh rasa hormat. Farukh dan istrinya masuk ke dalam rumah. Anak mereka (syekh) kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
Apakah pembaca tahu pernyataan pertama yang Suhaila sampaikan kepada suaminya setelah lama berpisah? Dia berkata, “Duhai Farukh, saya sangat menyesal. Kini diriku tidak cantik lagi. Diriku tidak seperti yang engkau lihat 30 tahun yang lalu, saya sangat menyesal. Rambutku memutih dan kulitku juga tidak halus seperti yang engkau lihat dahulu.”
Farukh pun berkata dengan sangat lembut, “Duhai istriku tersayang, saya tidak peduli tentang hal itu. Kecantikanmu ada dalam hati. Kecantikanmu sudah kulihat dari kejujuran, karakter dan sopan santun. Jangan bersedih seperti itu sayangku.” Dia mengangkat dagu Suhaila dan me
natapnya penuh cinta sembari berkata, “Saya bersumpah bahwa engkaulah wanita paling indah bagiku.”
Kedua pasangan itu pun memadu kasih dan mulai membicarakan apa yang mereka alami selama 30 tahun ini. Begitu asyiknya berbicara, Farukh kemudian bertanya tentang harta simpanan yang ia tinggalkan. Suhaila berkata, “Suamiku, engkau tidak pergi ke masjid? Masjid Nabi Muhammad?”
Kata Farukh, “Ya, saya tadi kesana.”
Dia berkata, “Lalu, apa yang engkau lihat?”
Lalu ia menjawab, “Saya melihat seorang guru (syekh) yang luar biasa. Namanya Rabi’ah bin Abdurrahman. Saya tidak akan pernah melupakannya seumur hidupku.”
Lalu Suhaila bertanya, “Apakah engkau ingin menjadi seperti Rabi’ah bin Abdurrahman meskipun kehilangan semua kekayaan?”
Kata Farukh, “Ya saya mau. Saya ingin menjadi seperti dirinya meskipun akan kehilangan semua kekayaan yang kumiliki.”
Lalu Suhaila berkata, “Apakah engkau rela menghabiskan seluruh kekayaan untuk membiayai pendidikan anakmu agar seperti Rabi’ah bin Abdurrahman?”
Farukh berkata, “Ya. Bahkan itu lebih baik.”
Lalu Suhaila berkata kepadanya, “Rabi’ah bin Abdurrahman, ulama itu adalah putramu. Ia adalah orang yang bertengkar denganmu tadi; orang yang engkau lawan di depan pintu.” Ketika Farukh mengetahui hal ini, dia pergi mencari anaknya. Ia mencari ke mana putranya pergi dan berkata dalam hati, “Rabi’ah bin Abdurrahman adalah anakku, aku tidak percaya.. Ya Allah, hamba tidak percaya itu.”
Komentar
Posting Komentar