BPJS

حكم التأمين الصحي
رقم الفتوى : 229 الأحد 24 جمادى الآخرة 1434 - 5 مايو 2013 1394
نص الاستشارة أو الفتوى:
فضيلة الشيخ ما حكم التأمين الصحي؟

نص الجواب:
أجاب عن هذا السؤال فضيلة الشيخ : أحمد حجي الكردي حفظه الله تعالى:

حكم التأمين الصحي
التأمين الصحي الإجباري بأمر الدولة نوع من الضريبة، يدفع كما تدفع الضرائب الأخرى، ولا أعده تأميناً، ويصبح لازماً بأمر ولي الأمر، أما التأمين الاختياري فقد اختلف الفقهاء المعاصرون في حكمه، فأجازه البعض مطلقاً، وحرمه البعض مطلقاً، والأكثرون على جوازه لدى شركات التأمين التكافلي فقط إذا لم تتعامل بالربا مع البنوك التقليدية.
والله تعالى أعلم.

أ.د. أحمد حجي الكردي
الخبير الموسوعة الفقهية، وعضو هيئة الإفتاء في دولة الكويت.

Hasil Pembahasan Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyyah Muktamar ke 33 Nahdlatul Ulama di Jombang Jawa Timur ( 1 s/d 5 Agustus 2015) tentang hukum BPJS kesehatan

Pertanyaan:

1. Apakah konsep Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS sesuai dengan syariat Islam?
2. Apakah program BPJS itu mengandung riba?
3. Bolehkah pemerintah mewajibkan keikutsertaan rakyat pada program BPJS?
4. Apakah boleh pemerintah menetapkan denda kepada peserta atas keterlambatan pembayaran iuran yang disepakati?
5. Bagaimana hukum investasi dana yang dilakukan oleh BPJS di berbagai sektor?

Jawaban:

1. BPJS yang merupakan program pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat (UU BPJS Nomor 40/11) adalah sejalan dengan semangat dan tujuan At-Ta’min At-Ta’awuny (Jaminan Gotong-Royong), yaitu kesepakatan beberapa orang atas kesanggupan masing-masing pada persekutuan tertentu guna mengganti kerugian yang mungkin menimpa salah seorang dari mereka pada saat benar-benar terjadi bahaya (Musibah). Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang harus disempurnakan suapaya BPJS sesuai dengan konsep At-Ta’min At-Ta’awuny yang sesuai syariat Islam, yaitu:

a. Semangat dan tujuan BPJS yaitu pemeliharaan jaminan sosial di bidang kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tanpa keuntungan (Non profit) harus dapat difahami dan disadari oleh seluruh peserta, sehingga tujuan kepesertaan BPJS membantu sesama tanpa berharap keuntungan benar-benar direalisasikan.

b. Dana BPJS harus dikelola menurut pengelolaan keuangan yang sesuai syariat Islam.

c. Kemungkinan dana yang terkumpul melebihi biaya yang dibutuhkan dijadikan sebagai infaq dan sedekah (tidak dikembalikan).

d. Kepesertaan hanya berlaku bagi warga negara yang sudah mampu memenuhi standard minimal kebutuhannya, sehingga warga miskin dan anak-anak tidak boleh diwajibkan menjadi peserta BPJS.

e. Harus dilakukan update data kepesertaan secara berkala mengenai status kemampuan peserta.

f. Pelayanan kepada peserta harus adil dan tidak diskriminatif.

2. Dalam program BPJS tidak mengandung unsur riba dan juga tidak identik dengan asuransi profit apabila semua ketentuan-ketentuan di atas dapat dipenuhi dengan konsisten.

3. Pemerintah boleh mewajibkan keikutsertaan pada program BPJS hanya terhadap warga negara yang sudah mampu memenuhi standard kebutuhan minimalnya (dengan harta atau penghasilan) dalam kurun waktu satu tahun dengan syarat anggaran negara di sektor kesehatan tidak mencukupi serta kadar iuran yang ditetapkan sesuai dengan kemampuan peserta.

4. Pemerintah menerapkan denda keterlambatan diperbolehkan dan hanya berlaku bagi peserta yang masuk katagori mampu.

5. Investasi dana BPJS diberbagai sektor diperbolehkan apabila:

a. Terdapat peluang memperoleh keuntungan dan maslahah
b. Dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggung jawab.
c. Hasil keuntungan tetap dipergunakan sebagaimana peruntukan harta asal (jaminan sosial kesehatan)
d. Pengelolaannya seseuai ketentuan syariat Islam.
e. Harus diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila terjadi kerugian/kebangkrutan, maka yang bertanggung jawab adalah pihak pengelola (BPJS) jika hal itu terjadi akibat kecerobohan dalam menjalankan prosedur dan ketentuan diatas.

Referensi :
- Al Fiqhul Islami wa Adillatuhuu, ju V halaman 101:

حُكْمُ التَّأْمِيْنِ مَعَ شَرِكَاتِ التَّأْمِيْنِ فِي الْإِسْلَامِ

اَلتَّأْمِيْنُ حَدِيْثُ النَّشْأَةِ ، فَقَدْ ظَهَرَ بِمَعْنَاهُ الْحَقِيْقِيُّ فِي الْقَرْنِ الرَّابِعَ عَشَرَ الْمِيْلَادِيِّ فِيْ إِيْطَالِيَا فِيْ صُوْرَةِ التَّأْمِيْنِ الْبَحْرِيِّ. وَالتَّأْمِيْنُ نَوْعَانِ: تَأْمِيْنٌ تَعَاوُنِيٌّ وَتَأْمِيْنٌ بِقِسْطٍ ثَابِتٍ

أَمَّا التَّأْمِيْنُ التَّعَاوُنِيُّ: فَهُوَ أَنْ يَتَّفِقَ عِدَّةُ أَشْخَاصٍ عَلَى أَنْ يَدْفَعَ كُلٌّ مِنْهُمْ اِشْتِرَاكًا مُعَيَّنًا، لِتَعْوِيْضِ الْأَضْرَارِ الَّتِيْ قَدْ تُصِيْبُ أَحَدَهُمْ إِذَا تَحَقَّقَ خَطَرٌ مُعَيَّنٌ . وَهُوَ قَلِيْلُ التَّطْبِيْقِ فِي الْحَيَاةِ الْعَمَلِيَّةِ.
إلى أن قال:
حُكْمُ التَّأْمِيْنِ التَّعَاوُنِيِّ:
لَاشَكَّ فِيْ جَوَازِ التَّأْمِيْنِ التَّعَاوُنِيِّ فِي الْإِسْلَامِ، لِأَنَّهُ يَدْخُلُ فِيْ عُقُوْدِ التَّبَرُّعَاتِ، وَمِنْ قَبِيْلِ التَّعَاوُنِ عَلَى الْبِرِّ؛ لِأَنَّ كُلَّ مُشْتِرِكٍ يَدْفَعُ اشْتِرَاكَهُ بِطِيْبِ نَفْسٍ لِتَخْفِيْفِ آثَارِ الْمَخَاطِرِ وَتَرْمِيْمِ الْأَضْرَارِ الَّتِيْ تُصِيْبُ أَحَدَ الْمُشْتَرِكِيْنَ، أَيًّا كَانَ نَوْعُ الضَّرَرِ، سَوَاءٌ فِي التَّأْمِيْنِ عَلَى الْحَيَاةِ، أَوِ الْحَوِادِثِ الْجُسْمَانِيَّةِ......إلخ

- Shahih Muslim, juz XII halaman 300:

حَدَّثَنَا أَبُوْ عَامِرٍ الْأَشْعَرِيُّ وَأَبُوْ كُرَيْبٍ جَمِيْعًا عَنْ أَبِيْ أُسَامَةَ قَالَ أَبُوْ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُوْ أُسَامَةَ حَدَّثَنِيْ بُرَيْدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ أَبِيْ بُرْدَةَ عَنْ أَبِيْ مُوْسَى قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِنَّ الْأَشْعَرِيِّيْنَ إِذَا أَرْمَلُوْا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِيْنَةِ جَمَعُوْا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِيْ ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوْهُ بَيْنَهُمْ فِيْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّيْ وَأَنَا مِنْهُمْ

- Shahih Muslim, juz XVII halaman 19:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيْمِيُّ وَأَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَ قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِيْ صَالِحٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ

- Hasyiyah Ibn Qasim ‘Ala Tuhfatil Muhtaj fi Syarhil Minhaj, juz X halaman 264:

فَالْأَوْجَهُ أَنَّ الْمُتَوَجَّهَ عَلَيْهِ وُجُوْبُ الصَّدَقَةِ بِالْأَمْرِ الْمَذْكُوْرِ مَنْ يُخَاطَبُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ فَمَنْ فَضَلَ عَنْهُ شَيْءٌ مِمَّا يُعْتَبَرُ ثَمَّ لَزِمَهُ التَّصَدُّقُ عَنْهُ بِأَقَلِّ مُتَمَوَّلٍ هَذَا إنْ لَمْ يُعَيِّنْ لَهُ الْإِمَامُ قَدْرًا ، فَإِنْ عَيَّنَ ذَلِكَ عَلَى كُلِّ إنْسَانٍ فَالْأَنْسَبُ بِعُمُوْمِ كَلَامِهِمْ لُزُوْمُ ذَلِكَ الْقَدْرِ الْمُعَيَّنِ لَكِنْ يَظْهَرُ تَقْيِيْدُهُ بِمَا إذَا فَضَلَ ذَلِكَ الْمُعَيَّنُ عَنْ كِفَايَةِ الْعُمُرِ الْغَالِبِ

Referensi lain:
a. Bugyatul Mustarsyidin, halaman 253
b. Fathul Mu’in (Hamisy I’anatut Thalibin, juz VI halaman 182)
c. Bughyatul Mustarsyidin, halaman 142
d. Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro, juz III halaman 328
e. Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubro, juz III halaman 331
f. Hasyiyah Al Bujairimy ‘Alal Khathib, juz III halaman 197

Wallaahu A’lamu Bishshowaab
_______________________________

Hukum Asuransi BPJS
Minggu, 05 April 2015 Kesehatan, PWNU

Deskripsi Masalah

BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.

BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (dahulu bernama Jamsostek) merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.

BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.

Kepesertaan wajib

Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai pasal 14 UU BPJS.

Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian. Sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program Bantuan Iuran.

Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan.

Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa dimulai secara bertahap pada 2014 dan pada 2019, diharapkan seluruh warga Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan tersebut. Menteri Kesehatan Nafisah Mboi menyatakan BPJS Kesehatan akan diupayakan untuk menanggung segala jenis penyakit namun dengan melakukan upaya efisiensi. (Iuran BPJS Kesehatan Rp 22 ribu)

Dalam UU BPJS Nomor 40/2011 disebutkan, Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Menurut UU BPJS tersebut, jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Pasal 3 UU BPJS menyebutkan, BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan, terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.

Pertanyaan

a. Apakah konsep Jaminan Kesehatan Nasional dalam BPJS sesuai dengan ajaran syariah Islam?

b. Apakah program BPJS itu mengandung riba atau tidak? Karena program tersebut identik dengan asuransi.

c. Apakah boleh pemerintah mewajibkan keikutsertaan rakyat pada program BPJS?

d. Bagaimana hukum mengikuti program BJPS?

Jawaban a:

BPJS yang merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat (UU BPJS Nomor 40/2011) adalah sejalan dengan semangat dan tujuan at-takmin at-ta’awuny, yaitu persekutuan beberapa orang dengan membayar iuran dalam jumlah tertentu, kemudian dari persekutuan itu digunakan untuk membiayai peserta yang tertimpa musibah.

Namun dalam pelaksanaannya ada yang perlu disempurnakan agar sesuai dengan konsep at-takmin at-ta’awuny, yaitu:

1. Tidak ada paksaan dalam kepesertaan.

2. Peserta semata-mata bertujuan untuk membantu sesama (tidak untuk mendapatkan keuntungan).

3. Keadilan dalam pelayanan (tidak ada diskriminasi pada peserta).

4. Kemungkinan jumlah iuran melebihi biaya yang dibutuhkan maka menjadi sedekah atau infaq sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Referensi:

الفقه الإسلامي وأدلته (5/ 101)
أما التأمين التعاوني: فهو أن يتفق عدة أشخاص على أن يدفع كل منهم اشتراكاً معيناً، لتعويض الأضرار التي قد تصيب أحدهم إذا تحقق خطر معين. وهو قليل التطبيق في الحياة العملية.

الفقه الإسلامي وأدلته (5/ 108)
موقف الفقه الإسلامي من التأمين: لا شك كما تبين سابقاً في جواز التأمين التعاوني في منظار الفقهاء المسلمين المعاصرين؛ لأنه يدخل في عقود التبرعات، ومن قبيل التعاون المطلوب شرعاً على البر والخير؛ لأن كل مشترك يدفع اشتراكه بطيب نفس، لتخفيف آثار المخاطر وترميم الأضرار التي تصيب أحد المشتركين، أياً كان نوع الضرر، سواء في التأمين على الحياة، أو الحوادث الجسدية، أو على الأشياء بسبب الحريق أو السرقة أو موت الحيوان، أو ضد المسؤولية من حوادث السير، أو حوادث العمل، ولأنه لا يستهدف تحقيق الأرباح.وعلى هذا الأساس نشأت شركات التأمين التعاوني في السودان وغيره، ونجحت في مهامها وأعمالها، بالرغم من وصف القانونيين لها بأنها بدائية.

الفقه الإسلامي وأدلته (5/ 102)
وأما التأمين بقسط ثابت: فهو أن يلتزم المؤمَّن له بدفع قسط محدد إلى المؤمِّن: وهو شركة التأمين المكونة من أفراد المساهمين، يتعهد (أي المؤمن) بمقتضاه دفع أداء معين عند تحقق خطر معين. وهو النوع السائد الآن. ويدفع العوض إما إلى مستفيد معين أو إلى شخص المؤمن أو إلى ورثته، فهو عقد معاوضة ملزم للطرفين.

والفرق بين النوعين: أن الذي يتولى التأمين التعاوني ليس هيئة مستقلة عن المؤمن لهم، ولايسعى أعضاؤه إلى تحقيق ربح، وإنما يسعون إلى تخفيف الخسائر التي تلحق بعض الأعضاء. أما التأمين بقسط ثابت فيتولاه المؤمن (أي الشركة المساهمة) الذي يهدف إلى تحقيق ربح، على حساب المشتركين المؤمن لهم. وكون المؤمن له قد لايأخذ شيئاً في بعض الأحيان لايخرج التأمين من عقود المعاوضات، لأن من طبيعة العقد الاحتمالي ألا يحصل فيه أحد العاقدين على العوض أحياناً.

أبحاث هيئة كبار العلماء ج 4 ص 41
فالتأمين التعاوني يقوم به عدة أشخاص يتعرضون لنوع من المخاطر وذلك عن طريق اكتتابهم بمبالغ نقدية على سبيل الاشتراك تخصص هذه المبالغ لأداء التعويض المستحق لمن يصيبه منهم الضرر، فإن لم تف الأقساط المجموعة طولب الأعضاء باشتراك إضافي لتغطية العجز، وإن زادت عما صرف من تعويض كان للأعضاء حق استرداد هذه الزيادة، وكل واحد من أعضاء هذه الجمعية يعتبر مؤمنا ومؤمنا له وتدار هذه الجمعية بواسطة بعض أعضائها، ويتضح من تصوير هذا النوع من التأمين أنه أشبه بجمعية تعاونية تضامنية لا تهدف إلى الربح وإنما الغرض منها درء الخسائر التي تلحق بعض الأعضاء بتعاقدهم على توزيعها بينهم على الوضع المذكور.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج ج 10 ص 264
(قَوْلُهُ وَبَحَثَ الْإِسْنَوِيِّ أَنَّ كُلَّ مَا أَمَرَهُمْ بِهِ مِنْ نَحْوِ صَدَقَةٍ وَعِتْقٍ يَجِبُ كَالصَّوْمِ إلَخْ) وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ فَقَدْ صَرَّحَ بِالتَّعَدِّي الرَّافِعِيُّ فِي بَابِ قِتَالِ الْبُغَاةِ وَعَلَى هَذَا فَالْأَوْجَهُ أَنَّ الْمُتَوَجَّهَ عَلَيْهِ وُجُوبُ الصَّدَقَةِ بِالْأَمْرِ الْمَذْكُورِ مَنْ يُخَاطَبُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ فَمَنْ فَضَلَ عَنْهُ شَيْءٌ مِمَّا يُعْتَبَرُ ثَمَّ لَزِمَهُ التَّصَدُّقُ عَنْهُ بِأَقَلِّ مُتَمَوَّلٍ هَذَا إنْ لَمْ يُعَيِّنْ لَهُ الْإِمَامُ قَدْرًا، فَإِنْ عَيَّنَ ذَلِكَ عَلَى كُلِّ إنْسَانٍ فَالْأَنْسَبُ بِعُمُومِ كَلَامِهِمْ لُزُومُ ذَلِكَ الْقَدْرِ الْمُعَيَّنِ لَكِنْ يَظْهَرُ تَقْيِيدُهُ بِمَا إذَا فَضَلَ ذَلِكَ الْمُعَيَّنُ عَنْ كِفَايَةِ الْعُمُرِ الْغَالِبِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ إنْ كَانَ الْمُعَيَّنُ يُقَارِبُ الْوَاجِبَ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ قُدِّرَ بِهَا أَوْ فِي أَحَدِ خِصَالِ الْكَفَّارَةِ قُدِّرَ بِهَا, وَإِنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ لَمْ يَجِبْ، وَأَمَّا الْعِتْقُ فَيُحْتَمَلُ أَنْ يُعْتَبَرَ بِالْحَجِّ وَالْكَفَّارَةِ فَحَيْثُ لَزِمَهُ بَيْعُهُ فِي أَحَدِهِمَا لَزِمَهُ عِتْقُهُ إذَا أَمَرَهُ بِهِ الْإِمَامُ شَرْحُ مَرَّ (قَوْلُهُ: الْمُوسِرُونَ بِمَا يُوجِبُ الْعِتْقَ فِي الْكَفَّارَةِ) كَذَا مَرَّ

صحيح مسلم ج 12 ص 300
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْأَشْعَرِيُّ وَأَبُو كُرَيْبٍ جَمِيعًا عَنْ أَبِي أُسَامَةَ قَالَ أَبُو عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنِي بُرَيْدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ g إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْوِ أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ

شرح مسلم للنووي ج 8 ص 270
قَوْله g: (إِنَّ الْأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الْغَزْو إِلَى آخِره) مَعْنَى (أَرْمَلُوا) فَنِيَ طَعَامهمْ. وَفِي هَذَا الْحَدِيث فَضِيلَة الْأَشْعَرِيِّينَ، وَفَضِيلَة الْإِيثَار وَالْمُوَاسَاة، وَفَضِيلَة خَلْط الْأَزْوَاد فِي السَّفَر، وَفَضِيلَة جَمْعهَا فِي شَيْء عِنْد قِلَّتهَا فِي الْحَضَر، ثُمَّ يَقْسِم، وَلَيْسَ الْمُرَاد بِهَذَا الْقِسْمَة الْمَعْرُوفَة فِي كُتُب الْفِقْه بِشُرُوطِهَا، وَمَنَعَهَا فِي الرِّبَوِيَّات، وَاشْتِرَاط الْمُوَاسَاة وَغَيْرهَا، وَإِنَّمَا الْمُرَاد هُنَا إِبَاحَة بَعْضهمْ بَعْضًا وَمُوَاسَاتهمْ بِالْمَوْجُودِ.

صحيح مسلم ج 17 ص 19
قَالَ: قَالَ رَسُولِ اللهِ: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً، سَتَرَهُ اللّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَاللّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ.

Jawaban b:

Tidak mengandung unsur riba dan tidak identik dengan asuransi, karena apabila semua unsur terpenuhi maka tergolong at-takmin at-ta’awuny,seperti yang dijelaskan pada sub a.

Referensi:

Idem dengan referensi sub a.

Jawaban c:

Pemerintah boleh mewajibkan keikutsertaan rakyat pada program BPJS dengan syarat apabila anggaran negara tidak mencukupi dan kadar iuran yang ditetapkan masih dalam batas kemampuan rakyat yang punya kelebihan kebutuhan standar dalam satu tahun.

Referensi:

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ص: 253
(مسألة: ك): من الحقوق الواجبة شرعاً على كل غني وحده من ملك زيادة على كفاية سنة له ولممونه ستر عورة العاري وما يقي بدنه من مبيح تيمم، وإطعام الجائع، وفك أسير مسلم، وكذا ذمي بتفصيله، وعمارة سور بلد، وكفاية القائمين بحفظها، والقيام بشأن نازلة نزلت بالمسلمين وغير ذلك، إن لم تندفع بنحو زكاة ونذر وكفارة ووقف ووصية وسهم المصالح من بيت المال لعدم شيء فيه أو منع متوليه ولو ظلماً، فإذا قصر الأغنياء عن تلك الحقوق بهذه القيود جازه للسلطان الأخذ منهم عند وجود المقتضى وصرفه في مصارفه.

فتح المعين مع إعانة الطالبين - (4 / 182)
(ودفع ضرر معصوم) من مسلم وذمي ومستأمن جائع لم يصل لحالة الإضطرار أو عار أو نحوهما والمخاطب به كل موسر بما زاد على كفاية سنة له ولممونة عند احتلال بيت المال وعدم وفاء زكاة
(قوله ودفع ضرر معصوم) .....(وقوله لم يصل لحالة الاضطرار) أما إذا وصل إليها فيجب إطعامه على كل من علم به ولو لم يزد ما عنده عن كفاية سنة وإن كان يحتاجه عن قرب (قوله أو عار) معطوف على جائع (قوله أو نحوهما) أي نحو الجائع والعاري كمريض (قوله والمخاطب به) أي بدفع الضرر عمن ذكر (قوله بما زاد) متعلق بموسر (قوله عند اختلاف الخ) متعلق بالمخاطب أي أن المخاطب بدفع الضرر الموسر عند عدم انتظام بيت المال وعدم وفاء الزكاة أو نحوها بكفايته فإن لم يختل ما ذكر أو وقت الزكاة بها لا يكون الموسر هو المخاطب به بل يكون دفع ضرره من بيت المال أو من الزكاة

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ص: 251
(مسألة: ك): عين السلطان على بعض الرعية شيئاً كل سنة من نحو دراهم يصرفها في المصالح إن أدّوه عن طيب نفس لا خوفاً وحياء من السلطان أو غيره جاز أخذه، وإلا فهو من أكل أموال الناس بالباطل، لا يحل له التصرف فيه بوجه من الوجوه، وإرادة صرفه في المصالح لا تصيره حلالاً.

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ص 271
(مسألة: ي): أرزاق القضاة كغيرهم من القائمين بالمصالح العامة من بيت المال، يعطى كل منهم قدر كفايته اللائقة من غير تبذير، فإن لم يكن أو استولت عليه يد عادية ألزم بذلك مياسير المسلمين، وهم من عنده زيادة على كفاية سنة، ولا يجوز أخذ شيء من المتداعيين، أو ممن يحلفه أو يعقد له النكاح،

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي ص: 142
(مسألة: ك): يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال، ومعنى باطناً أنه يأثم اه. قلت: وقال ش ق: والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه، فالواجب يتأكد، والمندوب يجب، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي، فخالفوه وشربوا فهم العصاة، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اه.

قرة العين للشيخ حس ين المغربي المالكي ص: 332
(مسئلة) قال الشيخ التنبكتي فى تكميل الديباج آخر ترجمة العلامة الشيخ ابراهيم بن موسى بن محمد اللخمي الغرناطي ابو اسحاق الشهير بالشاطبي ما نصه: وكان صاحب الترجمة ممن يرى جواز ضرب الخراج على الناس عند ضعفهم وحاجاتهم لضعف بيت المال عن القيام بمصالح الناس كما وقع للشيخ المالقي فى كتاب الورع قال توظيف الخراج على المسلمين من المصالح المرسلة ولاشك عندنا فى جوازه وظهور مصلحته فى بلاد الاندلس فى زماننا الآن لكثرة الحاجة لما يأخذه العدو من المسلمين سوى ما يحتاج اليه الناس وضعف بيت المال الىن عنه فهذا يقطع بجوازه الآن فى الاندلس وانما النظر فى القدر المحتاج اليه من ذلك وذلك موكول الى الامام ..... وكان خراج بناء السور فى بعض مواضع الاندلس فى زمانه موظفا على اهل الموضع فسئل عنه امام الوقت فى الفتيا بالاندلس الاستاذ الشهير ابو سعيد بن لب فافتى انه لايجوز ولايسوغ وافتى صاحب الترجمة بسوغه مستندا فيه الى المصلحة المرسلة معتمدا فى ذلك الى قيام المصلحة التى ان لم يقم بها الناس فيعطونها من عندهم ضاعت وقد تكلم على المسئلة الامام الغزالي فى كتابه فاستوفى ووقع لابن الفراء فى ذلك مع سلطان وقته وفقهائه كلام مشهور لانطيل به اه .

Jawaban d:

Boleh bahkan bisa menjadi wajib bagi mayasir al-muslimin.

Referensi:
Idem dengan referensi sub c.

Sumber :
Keputusan Komisi A
Bahtsul Masa`il PWNU Jawa Timur
di PP. Manba`ul Ma’arif Denanyar Jombang
14-15 Jumadil Akhir 1436 H/4 - 5 April 2015 M


Komentar

Postingan Populer